Lalu lintas sepanjang daerah jatinegara yang padat, semakin padat. Bukan hanya mobil, motor atau bajaj, sepanjang daerah ini memang dijadikan semacam pasar tumpah dimana lapak-lapak digelar beralas seadanya, diterangi lampu neon di saat malam. Beberapa bulan terakhir, makin ramai saja orang berkerumun di beberapa lapak, berjongkok dan rata-rata memegang senter tangan. Jaman dahulu, ketekunan seperti ini hanya saya temui di lapak teka-teki catur berhadiah rokok, di alun-alun kota Bandung. Namun tidak, lapak tersebut adalah lapak batu akik.

Batu akik hits-nya memang luar biasa. Bagi saya, konsultan yang ngamen dari satu perusahaan ke yang lain, trend ini kelihatan sangat. Mulai dari satpam, hingga direktur perusahaan seakan kompak menggunakan batu akik beraneka warna, beraneka bentuk dan tentu saja beraneka harga. Bahkan tukang parkir di pasar pagi Rawamangun, saya lirik menggunakan batu akik pancawarna Garut sebesar telor bebek!. Dan jumlahnya dua biji.

Dari semua batu yang meraup keuntungan dalam demam ini, tentu batu Bacan adalah juaranya. Dalam ilmu gemology, mineral yang terkandung dalam batu ini dikenal dengan nama Chrysocolla Chalcedony atau populer dalam pasaran permata dunia sebagai Gem Silica. Batu berwarna biru kehijauan atau hijau kebiruan ini, dikejar-kejar orang bak putri ayu ditaksir ribuan pangeran. Akibatnya permintaan pasar menjelma menjadi sedotan raksasa, menyebabkan menambangan eksesif di pulau Doko dan Palamea, Halmahera. Kabarnya, saat ini kedalaman tambang ada yang mencapai 120 m di bawah tanah. Fantastis. Tak heran harganya melambung tinggi. Bagai durian runtuh, karena sebelumnya masyarakat Halmahera hanya menganggap Bacan sebagai batu tak berharga. Kini, harga sekilonya bisa belasan juta.

Banyak yang berteori dibalik naik daunnya chrysocolla chalcedony. Ada yang skeptis, melihatnya sebagai permainan cukong-cukong modal besar yang menggoreng pasar, persis seperti tanaman anthurium, ikan Louhan dan sebagainya. Ada pula yang nasionalis, berteori bahwa melambungnya batu Bacan karena kerinduan masyarakat pada produk khas kebanggaan Indonesia. Ada juga yang objektif, sekedar karena kualitas batu yang sedap dipandang.

Saya justru tertarik dengan mitos, bahwa batu Bacan dianggap sebagai batu bernyawa.. lhoh..? Maksudnya, warna dan kualitasnya dapat berubah jika dirawat atau dipakai. Derajat kristalnya ditentukan dengan rawatan.

Dalam dunia pengembangan kompetensi manusia, kita mengenal dua paradigma besar yaitu nature dan nurture. Pandangan bahwa kinerja prima terjadi karena bakat, atau terjadi karena latihan dan pengembangan. Saya tidak menyangka sedikitpun, bahkan dalam diri “batu” sekalipun, ada kualitas nurture dan tidak murni berbasis bakat. Papi saya pernah menasehati, ketika anaknya yang sangat lemah matematika ini masuk jurusan matematika di perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Katanya, “Le.. batu saja ketetesan air bisa bolong, semua kalau dipelajari pasti bisa”. Saya percaya, dan kemudian menemukan bahwa proses belajar atas sesuatu yang bukan bakat seperti ini stressful, dan tidak paripurna hasilnya. Namun perenungan terhadap batu Bacan mengajarkan, bahwa dengan cara yang tepat, belajar sesuatu yang bukan bakat dapat juga berhasil dengan menyenangkan. Jika kristal telah tampak pada permata, semuanya akan terbayar. Tetap semangat, dan salam pembaharu!.

Tulisan ini dimuat di Majalah Youth Marketers Edisi No. 4, Februari 2015