Sebagian besar rekan saya menganggap Divergent (2014) sebagai film ABG yang hanya layak ditonton oleh remaja labil atau alay. Film semacam ini dianggap pesaing lain dari film ala-ala novel Stephanie Meyer yang menawarkan cute faces, sedikit action dalam aroma percintaan remaja. Jujur saja pada awalnya sayapun menganggapnya demikian. Namun setelah menonton film ini, saya mengambil banyak hikmah dan cukup terhibur.

Akibat dari perang berkepanjangan, Chicago masa datang menjadi kota puing dimana sekelompok orang mempertahankan dirinya. Masyarakat pada waktu itu akhirnya menemukan suatu cara untuk memelihara perdamaian yakni dengan mengelompokkan setiap orang ke dalam 5 fraksi yang paling sesuai dengan personality mereka. Adalah Beatrice Prior, yang ternyata memiliki potensi ganda sehingga tidak dapat diklasifikasikan dalam fraksi manapun. Dialah yang masuk dalam kategori Divergent.

Diluar adegan lompat, lari pukulan dan ciuman, ada yang menarik yang layak kita renungkan. Pada awalnya film ini ingin berargumen bahwa kerjasama dan kestabilan dalam masyarakat dapat terbangun secara maksimal apabila setiap orang menjalankan fungsinya sesuai dengan personality, yang dapat dijadikan sebagai referensi untuk memprediksi perilakunya. Kita dibuat percaya bahwa dengan memahami personality orang lain, kita lebih mudah berkomunikasi, mempengaruhi, dan pada akhirnya kerjasama dapat terjalin lebih baik. Kebenaran ini yang secara awam diterima begitu saja secara normatif. Dalam dunia manajemen dan supervisi Anda mengenal klasifikasi MBTI, DISC, Littauer’s four quadrants dan lain sebagainya.

Namun asumsi salah kaprah tersebut kemudian disanggah sendiri di tengah plotnya. Film ini justru bertanya apakah benar personality seseorang dapat dilabelisasi seperti ini? Ketika test personality gagal menentukan Tris (Beatrice), dia seperti ingin menunjukkan bahwa personality manusia lebih merupakan bauran spektrum yang bersifat dinamis daripada warna statis yang dapat dilabelisasi. Seseorang yang disebut introvert bisa menjadi sangat ekstrovert ketika online. Seorang anak yang plegmatis di sekolah kok tiba-tiba menjadi sangat koleris di rumah. Situasi banyak berpengaruh pada diri seseorang. Dan pada akhirnya, semua usaha untuk melakukan labelisasi, pada hakekatnya melecehkan kompleksitas kepribadian manusia.