Tahukah Anda, bahwa di dunia ini terdapat 42.000 jenis jamur? Yang saya maksud disini bukanlah jamur seperti yang menempel di kulit dan harus dibasmi menggunakan salep fungisida, atau jamur halus yang tumbuh di atas roti setelah tanggal kadaluarsa. Yang saya ingin bincangkan adalah jamur yang sering disebut fleshy mushroom, yaitu jamur yang memiliki massa yang cukup, sehingga ada kemungkinan bisa dimakan. Walaupun jumlah spesiesnya beragam sangat, namun sayang sungguh sayang, hanya kurang lebih 4% saja dari seluruh spesies itu bisa dikonsumsi. Sisanya, yang 96% jikalau tidak keras, tidak berasa, dan banyak pula yang beracun sangat fatal.
Sekilas pandang, orang awam seperti saya tidak akan mudah membedakan mana varietas jamur yang beracun dan mana yang aman di tempat tumbuh aslinya, hutan belantara. Pemahaman saya pada jamur hanya sebatas beberapa lembar dalam mangkuk sup kimlo atau jenis yang populer menghiasi toping pizza. Untungnya, para ahli botani mampu mendeskripsikan secara detil ciri-ciri umum pada jamur beracun ini. Contohnya, jamur beracun akan mengeluarkan cairan putih susu ketika terpotong, memiliki warna mencolok, bau menyengat dan lain sebagainya. Ilmu yang telah diwariskan turun temurun dan dibukukan bisa menjadi panduan, hingga bahkan sekarang jenis jamur yang paling optimal enaknya, dibudidayakan secara masif.
Berkembangnya ilmu pengetahuan tidak dapat disangkal membuat semua hal ini mudah di jaman sekarang. Dalam kilas-kilas pikiran, saya sering bertanya, bagaimana nenek moyang kita dahulu pertama kali menemukan jamur yang bisa dimakan? Berapa banyak korban keracunan dan meninggal untuk sampai pada kesimpulan bahwa jamur tersebut aman?. Ternyata sejarah deteksi jamur beracun ini tidak se-naif yang saya kira tadi. Untuk mendeteksi jamur beracun, nenek moyang kita menggunakan trial and error, mencoba tiap jamur dan mencatatnya, namun menggunakan pengamatan terhadap perilaku hewan. Jamur yang dimakan hewan logikanya aman dimakan manusia.
Belajar dari pengalaman hewan ternyata sama untungnya daripada belajar dari pengalaman sendiri. Proses ini bagi nenek leluhur kita mempercepat akuisisi ilmu pengetahuan dan meminimalisir efek destruksi dari proses pembelajaran tersebut.
Di sekolah-sekolah bisnis, lazim digunakan kasus sebagai alat pembelajaran. Masalah-masalah bisnis yang riil disajikan dalam kelas dan dibahas menggunakan konsep manajemen yang dipelajari. Analisis mulai dengan alat yang super canggih hingga yang hanya menggunakan common sense selalu menimbulkan diskusi yang menarik. Proses seperti ini mempercepat akselerasi akumulasi pengetahuan.
Usia manusia sangat terbatas. Jika seluruh pembelajaran hanya bersumber dari apa yang kita dengar, saksikan dan alami sendiri, tentu tidak akan cukup waktu kita bahkan untuk mempelajari eksistensi diri sendiri. Oleh karena itu, Belajar dari apa yang dilakukan oleh orang lain pada hakekatnya menambah usia.
Kasus bisnis (business case) yang disajikan dalam kelas tentu kasus yang telah direkayasa. Dia bagaikan kolam lumpur yang dibangun di barak-barak latihan prajurit kopassus, atau seperti vaksin, kuman yang telah dilemahkan agar antibody mengenali struktur proteinnya dan mampu membangun kekebalan. Tentu kemewahan untuk belajar dengan metode seperti ini tidak dimiliki semua orang. Namun dengan sikap mental yang benar, kita dapat menghayati semua yang tampil di depan kita sebagai case.. life case. Strategi bos kita untuk menengahi konflik, cara kerja kantor dibanding kantor sebelah, program promosi pemasaran yang tampil di media setiap hari, liputan-liputan di majalah Marketing dan Youth Marketers, itu semua adalah life case gratis yang disediakan di depan mata kita. Kita hanya butuh memasang mata, melakukan analisis dan mengambil lessons learned darinya. Tetap semangat, dan salam pembaharu!
* * *
Dimuat di majalah Youth Marketers Edisi 6, Bulan Maret 2015
No Comment