Jika ada pertanyaan kuis tentang berita apa yang paling mengemuka beberapa minggu terakhir ini, tentu asap jawabnya. Kabut asap yang jika dilihat dari citra satelit menyelimuti lebih dari separuh wilayah Indonesia dan melebar ke negara tetangga dengan berbagai tingkat kepekatan ini, menjadi sumber keprihatinan seluruh masyarakat Indonesia. Istilah kaki jadi kepala, kepala jadi kaki kiranya tepat untuk menggambarkan usaha yang dilakukan untuk menjinakkan api yang merajalela diatas lahan gambut kering akibat kemarau berbulan lamanya.

Memadamkan kebakaran dengan magnitude yang luas seperti ini sungguh tidak sesederhana mengguyur air diatas api seperti yang saya bayangkan. Lahan gambut terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan yang terhambat pembusukannya dan tertumpuk hingga beberapa meter dalamnya. Dengan demikian, api dapat saja padam di bagian atas, namun masih menyimpan bara di bagian dalam. Penyiraman memang dapat menahan sejenak laju kebakaran, namun api dengan mudah dapat menyala kembali. Selain itu, secara alamiah dalam suasana kering seperti ini, kecepatan penjalaran api dapat berlipat kali lebih cepat.

Saya tidak akan berlarut membahas tentang bagaimana memadamkan api secara taktis seperti ini. Saya justru akan meyoroti secara lebih luas kebakaran yang terus terjadi selama bertahun-tahun lamanya. Menurut O’Connor & Mc Dermott (1997), peristiwa yang terjadi berulang kali membentuk suatu pola (pattern) yang predictable, sehingga memungkinkan untuk melakukan tindakan antisipasi. Tentu, jika kita cukup sadar untuk mengamati polanya dan meluangkan waktu untuk membedah komponen pembentuknya. Bagaikan selimut kependekan, ditutup kepala terbuka kaki, ditarik kaki terbuka kepala, kebijakan intervensi dalam jangka panjang menghadapi kompleksitas yang rumit. Di satu sisi pemerintah daerah memerlukan perusahaan pengelola hutan untuk menjadi mesin uang, di sisi lain penrusahaan dan perorangan menganggap membuka lahan dengan membakar lebih efisien. Hal ini diperparah dengan peran pengawas yang sangat lemah di hadapan para praktisi industri.

Kompleksitas seperti ini hanya bisa diatasi dengan pendekatan yang sistemik, bukan parsial. Pendekatan yang berorientasi pada transformasi jangka panjang, pada pola interaksi dan perilaku seluruh stakeholder hutan. Intervensi berganda yaitu tindakan merubah sifat elemen sistem secara simultan perlu dilakukan untuk membawa perubahan yang ajeg. Pengawasan ketat, perlu dibarengi dengan penegakan hukum tanpa pandang bulu dan pidana yang menjerakan. Tidak berhenti sampai di situ, peninjauan kembali pada hak pengelolaan lahan gambut dan pengaturan tata kelola lahan perlu dipercepat pelaksanaannya. Tidak lupa juga pendidikan dan pemberdayaan seluruh masyarakat di sekitar hutan. Seluruh tindakan ini dilakukan secara simultan, bukan parsial.

Jika hutan kita ambil sebagai analogi dari organisasi, maka tentu kita juga akrab menghadapi kebakaran-kebakaran dalam organisasi. Segala sesuatu yang berupa kegagalan (failure) dapat kita sebut sebagai kebakaran yang menimbulkan kepanikan dan perlu ditangani dengan tindakan cepat untuk melokalisir kerusakan yang ditimbulkan. Jika kebakaran dalam organisasi bukan hanya sekali-sekali, namun berulang dalam jangka lama, maka waspadalah, Anda sejatinya sedang  mengalami masalah organisasional sistemik yang membutuhkan transformasi.

Ambil saja sebagai contoh, organisasi yang berulang kali mengalami tekanan profitabilitas yang menyebabkan turunnya moralitas karyawan dan turn over yang tinggi. Masalah ini walaupun terlihat merupakan masalah dari bagian yang berbeda, namun dasarnya merupakan failure cycle (siklus kegagalan) yang sangat rumit. Moralitas karyawan yang rendah berakibat pada tingkat layanan buruk, dan retensi pelanngan turun. Tentu hal ini menyebabkan tingginya biaya akuisisi pelanggan baru yang pada akhirnya menurunkan profitabilitas.

Injeksi intervensi berganda perlu dilakukan secara simultan, antara lain; menjamin bahwa moralitas karyawan yang rendah tidak berpengaruh besar pada tingkat layanan eksternal. Salah satu caranya dengan menerapkan service standard yang ketat. Secara simultan, perlu dirancang sistem hubungan pelanggan yang baik, sehingga pelanggan yang kurang puas memiliki waktu jeda respons sehinggan tidak langsung berpindah ke pesaing. Semakin mantab program intervensi apabila juga dipikirkan untuk menjamin kesejahteraan karyawan walaupun kondisi profit kurang menguntungkan, bisa dengan suntikan dana dari luar, atau bentuk-bentuk apresiasi lain yang sesuai harapan karyawan.

Demikianlah, sebagai suatu sistem yang kompleks, organisasi memerlukan pendekatan yang komprehensif. Dengan pemahaman yang  menyeluruh, para pemimpin organissi dapat melakukan tindakan intervensi berganda yang simultan untuk membawa organisasi menjadi lebih prima melalui transformasi.

*     *     *

Artikel ini telah dimuat di Harian Bisnis Indonesia, Hari Selasa, 28 Oktober 2015