Nilainya paling sedikit 82 ya Pak…, begitu kata salah satu service advisor sebuah bengkel resmi kendaraan sambil menyerahkan kuesioner kepuasan pelanggan pada saya. Telah lebih dari 5 tahun saya menjadi pelanggan setia bengkel tersebut, dan kesetiaan itu nampaknya masih akan berlangsung beberapa waktu ke depan. Namun ketertegunan saya tak dapat disembunyikan ketika service advisor menunggui saya, sambil sesekali curi-curi pandang pada nilai kepuasan yang saya bubuhkan. Akhirnya, alih-alih memberikan nilai rendah karena protes atas pemaksaan terselubung ini, gen keseganan ala jawa sayapun mengalahkan nafsu iseng tersebut. Dengan berat hati saya berikan nilai 84. Semburat senyum kecil menghias wajah berlesung pipit tersebut. Sambil malu-malu ia berkata, “Habis dari pusatnya begitu pak, kalau kurang dari 82, kita dimarahi”.
Perannya yang sentral dalam bangunan sistem pelayanan membuat riset kepuasan pelanggan menjadi salah satu riset paling populer dalam keluarga riset pemasaran. Hampir semua perusahaan yang peduli dengan tersajinya layanan prima melengkapi evaluasi aktivitas layanan dengan riset ini, mulai dari yang sangat sederhana hingga yang memiliki kompleksitas desain tinggi. Namun selama lebih dari 12 tahun tercelup dalam kebutuhan riset seperti ini, pengamatan saya menunjukkan bahwa kacamata perusahaan memaknai hasil riset kepuasan pelanggan memang berbeda-beda. Paling tidak saya melihat ada tiga pendorong utama yang sering saya temui.
Pertama perusahaan yang membuat riset kepuasan pelanggan semata-mata untuk memenuhi kriteria dari sebuah award atau sertifikasi. Beberapa kriteria organizational excellence seperti Malcolm-Baldridge dan EFQM memang mensyaratkan pemahaman akan pelanggan dan kepuasannya sebagai kunci terjaminnya sustainable result. Kedua adalah perusahaan yang menjalankan riset kepuasan sebagai salah satu key performance indicators (KPI) dari suatu divisi pengelola pelanggan, apakah itu customer service, customer relation dan lain-lain.
Kedua pendorong diatas tentu sah-sah saja dan wajar adanya. Namun saya mengamati seringkali ada tendensi dorongan yang luar biasa untuk membelokkan makna dari hasil nilai kepuasan pelanggan tersebut. Pergeseran dari orientasi proses menjadi orientasi hasil. Ketika award dan bonus yang dicari, hasil menjadi lebih penting dari proses. Nilai kepuasan pelanggan yang sejatinya adalah cermin bagi perusahaan untuk memahami isu-isu kritis yang memerlukan perbaikan segera, justru dapat berubah menjadi pengejar nilai tinggi. Berubahnya skor kepuasan dari sebuah alat evaluasi, menjadi alat promosi.
Oleh karena itu, driver atau pendorong ketiga yang saya sarankan adalah, kembali menempatkan riset kepuasan pelanggan sebagai alat introspeksi, alat evaluasi untuk melakukan perbaikan secara terus menerus terhadap strategi dan sistem layanan yang telah dibangun. Kekuatan sebenarnya dari riset ini adalah memilah elemen-elemen layanan mana saja yang menjadi prioritas utama perbaikan, mana yang dapat menunggu dan mana yang menjadi keunggulan utama. Sehingga cerita tidak selesai sebatas nilai, namun tindakan setelahnya justru lebih utama. Dengan demikian, tak ada lagi manajer yang marah-marah karena skornya turun, sehingga bawahan paranoid, berakrobat sedemikian rupa demi mendapatkan nilai yang tinggi dalam survey. Apa yang diharapkan dari sebuah cermin yang tidak menampakkan bayangan sesungguhnya? Salam semangat dan salam prima!
* * *
Dimuat di majalah Service Excellence Edisi Bulan November 2014
tulisannya bagus, anda memang benar-benar seorang kolumnis handal
Terima Kasih Mas Ryodimas, salam kenal