Sorak-sorai dan gemuruh tepuk tangan riuh rendah menggetarkan gedung olahraga itu. Ini kali pertama anak saya, Brilian, mengikuti lomba antar sekolah. Kejuaraan futsal antar TK se-Jakarta nampaknya cukup bergengsi sehingga dari fajar buta anak saya bersemangat bangun pagi, bersiap dan menembus kemacetan lebih dari tiga jam lamanya dari kawasan Jakarta Timur ke daerah Bintaro. Belum lagi jika dihitung persiapan latihan seminggu tiga kali yang cukup menguras energi anak secilik itu. Namun semua kesulitan dan tantangan itu dihadapi dan dikalahkan, demi dapat berdiri hari ini di bawah tatapan ratusan mata, berhadapan head to head dengan enam anak yang disebut lawan. Mereka sudah siap bertanding.
Sesaat saya sempat berharap kemampuan yang telah ditunjukkan selama latihan dapat muncul. Namun apa yang terjadi, begitu peluit ditiup tanda kick off, pemain-pemain cilik ini seperti kehilangan orientasi. Skill dribbling tidak muncul, tidak ada pembagian posisi, malah beberapa pemain masih belum bisa membedakan mana gawang musuh dan gawang sendiri. Melihat situasi seperti ini, para coach dan official dadakan yaitu orang tua siswa turun tangan. Teriakan mereka bersahut-sahutan, memberi semangat, arahan, dan strategi. Saking ramainya instruksi-instruksi liar tersebut, saya sempat tidak dapat memahami teriakan mana untuk siapa dan harus bagaimana. Suara yang masuk rasanya lebih mirip dengungan sekian puluh decibel yang memekakkan telinga, seiring bola berpindah dari kaki ke kaki. Hasilnya, tentu bisa ditebak, anak-anak semakin bingung.
Kekalahan 1-0 bukanlah sesuatu yang paling saya sesali. Justru proses yang perlu kita renungkan dan jadikan bahan ajar. Desakan pihak luar yang bertubi-tubi justru mengecilkan kepercayaan diri anak dan bahkan membuatnya tersesat dalam pertandingan itu. Officials yang fungsinya membantu, malah tenggelam dalam euphoria seakan tersedot untuk menjadi pemain. Hal ini saya amati bukan hanya terjadi pada tim kami saja, namun rata-rata pada seluruh tim yang berlaga.
Pertandingan seperti ini bisa jadi adalah manifestasi dari sebagian besar episode hidup kita. Memilih jurusan ketika masuk universitas, memilih pekerjaan pertama, memilih tempat tinggal, hobi dan bahkan dalam memilih jodoh, kita tak pernah bisa lepas dari officials seperti ini. Riuh suaranya memberi instruksi, arahan, harapan dan segudang dorongan motivasi. Namun perlu kita sadar, bahwa pada akhirnya penentu hasil pertandingan adalah mereka yang menginjakkan kakinya di lapangan. Andalah penentu arah dan tujuan.
Dari hal ini kita belajar. Ketika menjadi pemain, tempatkanlah arahan dan dorongan official dalam porsi yang sesuai. Gunakan sebagai masukan dan sumber inspirasi. Tampung semuanya dalam mental library yang anda bangun di sudut otak Anda. Dalam perenungan yang dalam, kemudian pilih satu cara yang paling baik, cocok dengan kepribadian dan memperjelas misi hidup Anda. Hanya dengan kompas dan kemudi yang teguh seperti ini, haluan kapal dapat lurus ke dermaga tujuan.
Memang tidak mudah menjaga posisi sebagai officials. Ketika Anda tahu bahwa apa yang dilakukan oleh pemain tidak jua sempurna, godaan besar menarik Anda untuk masuk dalam arena. Namun benarkan ini yang terbaik? Baik sebagai pemain atau sebagai officials, nampaknya perlu kebijaksanaan dan kedewasaan mental untuk menentukannya. Tetap semangat dan salam pembaharu!
* * *
Artikel ini dimuat di Majalah Youth Marketers, Edisi 5, Bulan Februari 2015
Sorak-sorai dan gemuruh tepuk tangan riuh rendah menggetarkan gedung olahraga itu. Ini kali pertama anak saya, Brilian, mengikuti lomba antar sekolah. Kejuaraan futsal antar TK se-Jakarta nampaknya cukup bergengsi sehingga dari fajar buta anak saya bersemangat bangun pagi, bersiap dan menembus kemacetan lebih dari tiga jam lamanya dari kawasan Jakarta Timur ke daerah Bintaro. Belum lagi jika dihitung persiapan latihan seminggu tiga kali yang cukup menguras energi anak secilik itu. Namun semua kesulitan dan tantangan itu dihadapi dan dikalahkan, demi dapat berdiri hari ini di bawah tatapan ratusan mata, berhadapan head to head dengan enam anak yang disebut lawan. Mereka sudah siap bertanding.
Sesaat saya sempat berharap kemampuan yang telah ditunjukkan selama latihan dapat muncul. Namun apa yang terjadi, begitu peluit ditiup tanda kick off, pemain-pemain cilik ini seperti kehilangan orientasi. Skill dribbling tidak muncul, tidak ada pembagian posisi, malah beberapa pemain masih belum bisa membedakan mana gawang musuh dan gawang sendiri. Melihat situasi seperti ini, para coach dan official dadakan yaitu orang tua siswa turun tangan. Teriakan mereka bersahut-sahutan, memberi semangat, arahan, dan strategi. Saking ramainya instruksi-instruksi liar tersebut, saya sempat tidak dapat memahami teriakan mana untuk siapa dan harus bagaimana. Suara yang masuk rasanya lebih mirip dengungan sekian puluh decibel yang memekakkan telinga, seiring bola berpindah dari kaki ke kaki. Hasilnya, tentu bisa ditebak, anak-anak semakin bingung.
Kekalahan 1-0 bukanlah sesuatu yang paling saya sesali. Justru proses yang perlu kita renungkan dan jadikan bahan ajar. Desakan pihak luar yang bertubi-tubi justru mengecilkan kepercayaan diri anak dan bahkan membuatnya tersesat dalam pertandingan itu. Officials yang fungsinya membantu, malah tenggelam dalam euphoria seakan tersedot untuk menjadi pemain. Hal ini saya amati bukan hanya terjadi pada tim kami saja, namun rata-rata pada seluruh tim yang berlaga.
Pertandingan seperti ini bisa jadi adalah manifestasi dari sebagian besar episode hidup kita. Memilih jurusan ketika masuk universitas, memilih pekerjaan pertama, memilih tempat tinggal, hobi dan bahkan dalam memilih jodoh, kita tak pernah bisa lepas dari officials seperti ini. Riuh suaranya memberi instruksi, arahan, harapan dan segudang dorongan motivasi. Namun perlu kita sadar, bahwa pada akhirnya penentu hasil pertandingan adalah mereka yang menginjakkan kakinya di lapangan. Andalah penentu arah dan tujuan.
Dari hal ini kita belajar. Ketika menjadi pemain, tempatkanlah arahan dan dorongan official dalam porsi yang sesuai. Gunakan sebagai masukan dan sumber inspirasi. Tampung semuanya dalam mental library yang anda bangun di sudut otak Anda. Dalam perenungan yang dalam, kemudian pilih satu cara yang paling baik, cocok dengan kepribadian dan memperjelas misi hidup Anda. Hanya dengan kompas dan kemudi yang teguh seperti ini, haluan kapal dapat lurus ke dermaga tujuan.
Memang tidak mudah menjaga posisi sebagai officials. Ketika Anda tahu bahwa apa yang dilakukan oleh pemain tidak jua sempurna, godaan besar menarik Anda untuk masuk dalam arena. Namun benarkan ini yang terbaik? Baik sebagai pemain atau sebagai officials, nampaknya perlu kebijaksanaan dan kedewasaan mental untuk menentukannya. Tetap semangat dan salam pembaharu!
No Comment