Saya selalu bisa menggambarkan dengan jelas ekspresi terkejut di wajah istri saya, ketika pertama kali saya beritahu bahwa Hoka-Hoka Bento, restoran waralaba jepang yang keren itu, adalah restoran asli Indonesia. Sama terkejutnya seperti para mahasiswa saya yang baru tahu kalau PeterSaysDenim juga brand asli Indonesia. lebih epik lagi, ekspresi mereka ketika tahu bahwa Terry Palmer dilahirkan di kawasan Palmerah, yang kemudian diambil menjadi namanya. Satu dekade ke belakang, kita memang menyaksikan brand-brand nasional yang melejit dan berjaya di pasar nasional, bahkan lebih dari itu, dapat berdiri gagah dalam peta persaingan internasional. Sebut saja brand Aqua, Indomie, Equil, Sosro dan Sari Ayu yang demikian kuat mengakar di pasar domestik sekaligus menjadikannya pijakan untuk menyeruak di pasar dunia.

Sebagai anggota masyarakat dari suatu negara, saya sangat bangga dengan hasil yang ditunjukkan oleh brand-brand legendaris tersebut. Setelah melewati suka duka dan jalan panjang berliku, akhirnya mereka dapat meraih posisi terhormat seperti sekarang ini. Dalam kerangka makro, suksesnya brand domestik berkontribusi besar pada kesejahteraan melalui nilai tambah yang dihasilkannya.

Negara ini tentu berterima kasih pada pabrik-pabrik original equipment manufacturing (OEM) yang membuat produk untuk ditempeli merek oleh para pemasar luar. Pabrik tersebut telah mendatangkan investasi besar dan menyerap berjuta buruh dan karyawan untuk berkarya. Namun tentu kita juga realistis untuk melihat bahwa profit yang dihasilkan tidaklah seberapa jika dibanding dengan kenikmatan yang didapat para brand owner. Nike misalnya, pada tahun 2014 saja mampu menyedot lebih dari 2.69 milyar dolar. Nilai tambah yang besar melekat pada merek yang kuat. Oleh karena itu, seluruh usaha yang dapat dilakukan untuk membangun brand equity yang besar perlu diperjuangkan.

Ada hitam pasti ada putih. Jika diatas kita berbincang mengenai merek yang melaju kencang, maka perhatian kita nampaknya juga perlu diarahkan pada brand-brand lokal yang masih struggling, berusaha untuk sukses, terlilit masalah, bahkan untuk sekadar hidup. Brand lokal seperti ini jumlahnya justru jauh lebih besar. Nasibnya tak tentu, dan banyak yang akhirnya diambil alih oleh perusahaan yang lebih mapan. Dengan demikian muncullah pertanyaan apakah hebatnya beberapa brand domestik diatas didorong oleh suatu fundamental lingkungan bisnis yang kuat, ataukah semata karena faktor internal organisasi? Sistemik, atau sporadik?. Dalam membahas masalah ini, pertama saya akan singgung mengenai karakter brand nasional dan faktor kunci sukses brand yang kuat, kemudian diikuti dengan analisis mengenai fundamental bisnis yang terkait.

Tujuan utama dari kegiatan branding menurut Kevin L. Keller adalah membangun resonansi dengan basis pelanggan. Jika brand itu sudah sehati dengan pelanggan, maka ia mampu menangkap dinamika keinginan dan perilaku pelanggan sehingga dapat menyelaraskan diri. Keterikatan emosional (emotional bonding) seperti ini yang pada muaranya menjadi cikal bakal loyalitas hingga ke level yang tertinggi. Proses penyelarasan dalam mencapai resonansi ini, diejawantahkan dalam dua dimensi yaitu fungsional dan emosional. Artinya suatu brand haruslah memiliki keunggulan kualitas yang dimuati dengan nilai emosional sehingga menjadi paket yang lengkap. Jika hal ini terus menerus dilakukan dengan konsisten, maka akan membangun apa yang oleh Aaker disebut sebagai strategic driver dari brand yang kuat yaitu: awareness, association, perceived quality dan loyalty.

Dari paparan konseptual diatas, ada beberapa implikasi logis dari suatu brand agar dapat sukses. Pertama, kualitas produk dan layanan yang prima. Tak dapat ditawar-tawar lagi, kualitas produk dan layanan menjadi syarat perlu. Bangun dahulu kualitas yang baik, baru berhak berharap sukses. Tanpa kualitas, bahkan untuk sekedar berharap saja, kita tidak berhak. Kedua, kompetensi marketing dari brand owner yang tinggi. Kompetensi marketing ini yang nantinya menjadi pemungkin (enabler) bagi munculnya marketing offering yang mendapat preferensi tinggi dari basis pelanggan. The man behind the gun nampaknya peribahasa yang tepat menggambarkan keadaan ini. Ketiga, inovasi dalam produk dan proses, termasuk cara-cara pemasaran. Seperti kita ketahui, brand global yang masuk ke Indonesia memiliki beberapa langkah di depan dibanding brand lokal, antara lain; jejaring global yang mem-back-up dengan repository pengalamannya, investasi yang relatif lebih lancar, serta global awareness terkait brand itu. Maka sulit dibayangkan dapat menjadi pemenang dengan cara-cara konvensional. Perlu jurus-jurus yang tidak biasa untuk menelikung persaingan, menjadi disruptive move dalam industri.

Dari ketiga hal sederhana diatas, kualitas produk dan layanan, kompetensi marketer, serta inovasi, baiknya kita menilai secara makro apakah ada suatu sistem yang dibangun sebagai akselerator proses ini?. Nampaknya, kehadiran pemerintah dalam hal ini belum bisa dikatakan maksimal. Standarisasi proses dan kualitas sebagai prasyarat kualitas prima masih banyak kendala di sana-sini, masuknya brand luar dengan kualitas biasa namun harga sangat murah tak terbendung. Akibatnya makin tinggilah handicap bagi para pemain lokal untuk meningkatkan kualitas produknya. Akhirnya menjadi lingkaran setan, yaitu kualitas medioker, menyebabkan intensi beli yang rendah, menghasilkan profit margin yang mepet dan akhirnya spending kualitas yang terbatas. Demikian seterusnya sehingga kebanyakan brand masuk dalam mediocre cycle dan tak jarang yang terperosok dalam failure cycle.

Satu hal yang patut disyukuri adalah bertumbuhnya sekolah-sekolah bisnis sebagai tempat pengkaderan marketer-marketer handal yang menjamur. Bukan hanya sekolah bagus dengan fasilitas yang mewah, namun training dan workshop pun tersedia dalam berbagai pilihan harga, mulai dari yang gratis hingga yang berbiaya puluhan juta. Komunitas swadaya yang membahas mengenai pemasaran serta bisnispun makin bersinar. Intinya, ilmu pemasaran tersebar secara luas, namun kesempatan untuk mempraktekkan ilmu itu yang masih sangat terbatas. Kita menunggu langkah kongkrit pemerintah untuk menjadi inference engine antara lembaga pengasah ilmu dan insitusi pengguna ilmu ini.

Salah satu faktor terpenting dari jaya atau tidaknya brand nasional adalah penerimaan pasar dalam hal ini pasar domestik. Penelitian Elif et al. (2014) menunjukkan bahwa ada kecenderungan masyarakat di timur dan Asia untuk lebih menyenangi brand luar negeri daripada brand negeri sendiri. Penelitian serupa di Indonesia mungkin belum banyak dilakukan. Namun nampaknya tak perlu riset sekompleks itu untuk melihat bahwa fenomena “luar negeri minded” sangat membudaya dalam keseharian masyarakat kita. Merek yang kebarat-baratan memiliki kesan lebih bergengsi, lebih berkualitas dan lain sebagainya.

Dalam momen yang sangat tepat ini, 20 Mei, 107 tahun yang lalu, para founding fathers Indonesia mendirikan Boedi Utomo yang menandai kebangkitan Nasional. Para pemimpin pendahulu telah merapatkan barisan, menggalang daya dan upaya untuk menuju Indonesia merdeka. Layaknya momen itu kita ulang pada tahun ini. Merapatkan barisan, untuk membangkitkan brand-brand nasional agar berjaya di pasar domestik dan berkibar di pentas dunia. Membangun fondasi yang kuat, yaitu dukungan pemerintah di berbagai sektor untuk mendorong kualitas produk dan layanan, kompetensi pemasaran dan inovasi, serta membangun penerimaan pasar. Mari kita pertebal nasionalisme riil, menjadi pahlawan-pahlawan masa kini yang memerdekakan bangsa dalam hal ekonomi.  Gunakan brand dalam negeri..!

*     *     *

Tulisan ini dimuat di Koran SINDO tanggal 20 Mei 2015, Edisi Khusus Hari Kebangkitan Nasional