Sungguh suatu ironi, jika ternyata antrian berkilo-kilo meter panjangnya di jalan tol itu, sebagian besar diisi oleh bangku kosong. Betapa tidak, misalkan suatu mobil minibus yang berkapasitas 8 orang dipakai berangkat kantor oleh seorang karyawan, berarti ada 7 bangku kosong meramaikan jalanan yang sudah padat bukan kepalang. Jika dijumlahkan dengan ratusan ribu kendaraan, debit di tol-tol utama, maka jumlahnya adalah angka inefisiensi yang tentu fantastis sekali. Hal itulah yang mendasari munculnya nebeng.com, dan berbagai gerakan sejenis. Konsumen ternyata tidak tinggal diam. Melihat adanya persoalan pribadi yang jika diakumulasikan bisa menjadi persoalan di level yang lebih besar, kesadaran kolektif mendorong munculnya komunitas-komunitas untuk membuat perubahan. Demikianlah kita sekarang, sedang menghadapi fajar dari era consumer collaboration.

Tidak dapat dihindari lagi, faktor teknologi yang berkembang sangat pesat dekade terakhir telah menjadi enabler bagi consumer collaboration. Munculnya web 3.0 yang bergerak melampaui interaksi, namun lebih dari itu mobile interaction, menyebabkan kolaborasi antar konsumen semacam ini menjadi intuitif bagi segmen tertentu. Kelas menengah yang memiliki akses luas terhadap sumber daya, pengetahuan, serta ketrampilan menggunakan alat-alat elektronik daring mulai melihat komunitasnya sebagai sumber pemenuhan kebutuhan. Kolaborasi dalam bentuk sharing informasi diwadahi oleh forum-forum digital. Kaskus contohnya, adalah forum terbesar di Indonesia dengan jumlah member lebih dari 7.8 juta adalah tempat berkumpul dan belajar berbagai  macam hal yang dikumpulkan dalam grup-grup diskusi. Disanalah terjadi sharing pengetahuan, perdebatan, rencana kopi darat, bahkan hingga transaksi dan pertukaran barang.

Selain pertukaran informasi, pertukaran barang dan jasa yang melibatkan transaksi juga terjadi antar konsumen. Munculnya digital marketplace semacam bukalapak, tokopedia, FJB kaskus, dan lainnya memungkinkan siapa saja untuk menjadi seller dan buyer. Batu akik dari desa terpencil di Nagan Aceh bisa melintas pulau, didistribusikan ke seluruh nusantara melalui platform marketplace ini.  Pertukaran jasa juga dimungkinkan melalui aplikasi semacam Gojek, grabbike, dan Uber Taxi. Dengan hanya bermodal satu motor seorang bisa menyajikan layanan transportasi yang nilainya lumayan besar.

Dalam dinamika perubahan lingkungan bisnis yang demikian cepat, perusahaan yang gagal melakukan sensing dan bertransformasi, akan menjadi dinosaurus yang terancam punah. Perlu adaptasi terhadap isu-isu kunci, terutama berkaitan dengan perilaku kolaborasi konsumen ini. Jika 20 tahun lalu, masih ada istilah “dapat barang saja sudah untung..”, hari ini keadaannya berbalik 180 derajat. Pasar telah bergeser dari seller oriented, didikte oleh produsen, menjadi buyer oriented, didikte oleh pembeli. Dan parahnya lagi, jika kita mengadaptasi teori persaingan klasik milik Michael Porter, kolaborasi pembeli akan meningkatkan bargaining power pembeli yang berakibat pada naiknya intensitas persaingan.

Oleh karena itu, para marketer perlu mengadaptasi paradigma baru. Pertama pelanggan adalah co-creator dari value. Definisi awal dari pemasaran yang dipelajari di berbagai sekolah manajemen adalah suatu proses terorganisasi untuk menciptakan, mengkomunikasikan, dan menyampaikan value kepada pelanggan. Arti implicit dari definisi ini adalah bahwa marketer adalah pihak yang bertanggung jawab untuk mencipta value agar terjadi transaksi. Fenomena consumer collaboration yang bukan sekedar trend, namun akan menjadi megatrend, nampaknya akan menggusur paradigma ini. Perusahaan harus siap membagi perannya dengan pelanggan. Pelanggan tidak lagi dilayani sepenuh hati, namun juga mesti didengar, diajak dan dilibatkan dalam proses pengembangan dan penyampaian value. Pola-pola partnership antara produsen dengan pelanggan dan nanti diperkuat dengan munculnya proses pelanggan ke pelanggan nantinya akan menjadi proses yang dominan dalam praktek pemasaran. Para marketer yang bisa mencegat di ujung perubahan tentu akan memiliki first mover advantage dan berpeluang memimpin.

Selain itu, perlu ada redefinisi terkait apa yang menjadi sumber keunggulan. Jika dalam paradigma lama, produk dan teknologi menjadi sumber keunggulan utama suatu brand, maka di era baru, service dan hubungan erat (relationship) menjadi senjata utama. Hal ini ditekankan oleh Vargo & Lusch (2004) dengan apa yang mereka sebut sebagai Service –Dominant Logic. Dalam paradigma ini, service yang dikelola sehingga menjadi hubungan baik memiliki nilai bisnis yang jauh lebih besar daripada produk perusahaan. Konsekuensi logis dari munculnya service dominant ini adalah munculnya faktor knowledge sebagai salah satu sumber keunggulan kompetitif. Demikianlah, mereka yang diam dalam lingkungan yang berubah sesungguhnya telah masuk dalam siklus kemunduran. Oleh karenanya, mari bersiap untuk era baru yang akan datang, era consumer collaboration.

Artikel ini dimuat di Koran Bisnis Indonesia, Senin, 28 September 2015