Gerimis malu-malu menyambut saya di kota Bandung. Tidak berapa lama kemudian, barisan distro, cafe dan factory outlet menyapa riang di sepanjang Jalan Riau. Ada yang mengganjal pada waktu saya berhenti tepat di depan lampu merah Jalan Laswi. Beberapa saat kemudian saya baru tersadar, lampu lalu lintasnya yang berbeda. Anda tentu tahu, angka digital yang menghitung mundur lamanya lampu merah, di Jalan Laswi angka penunjuknya count up! Saya menduga tidak hanya saya yang melihat kesalahan ini, hanya ada satu kata yang menggambarkannya , “ketidakpedulian”.
Sikap ketidakpedulian terhadap kesalahan kecil sering mewarnai keseharian suatu organisasi. Seorang manajer investasi bercerita mengenai suatu pengalaman yang menarik, pada suatu ketika, ia sedang dalam usaha me-lobby prospek kelas kakap. Tanpa diduga, calon nasabah tersebut justru meminta berkunjung ke kantor perusahaan investasi tersebut. Kunjungan pun berjalan lancar, namun closing yang diharapkan tak kunjung datang.
Berbagai cara ditempuh untuk menanyakan sebab mengapa investor tersebut menarik diri dari rencana investasinya. Akhirnya setelah didesak, calon investor tersebut bercerita. Bahwa di sela-sela rapat, beliau pergi ke kamar kecil. Di kamar kecil tersebut beliau menemukan vas yang berisi bunga hidup dengan tatakan di bawahnya. Didorong oleh rasa iseng, beliau mengangkat vas bunga dan apa yang ditemukannya? Bungkus permen yang berserakan. “Jika hal remeh seperti sampah bungkus permen saja disembunyikan, bagaimana nasib uang saya yang bermilyar jumlahnya”, begitu lah mungkin yang terlintas di benak beliau sehingga muncul keputusan untuk membatalkan rencana investasinya.
Michael Levine (2007) menyebut fenomena ini dengan istilah ”the broken windows”. Jendela pecah yang tidak diperbaiki, akan memberi pesan bahwa jendela pecah yang lain mungkin saja bisa terjadi. Kesalahan kecil yang ditolerir menunjukkan tidak adanya kepedulian pada kesalahan yang lebih besar.
Cara pandang organisasi yang bersifat mekanistis, yaitu yang mengatur secara ketat prosedur kerja sehingga pekerjaan masing- masing individu tercatat secara rinci dalam job description justru seringkali membuka lubang-lubang untuk lepas tangan pada aktivitas yang tidak termasuk dalam jobdesc-nya. Hal ini menyebabkan walaupun para karyawan terlihat sibuk bekerja, namun tetap saja, kesempurnaan dalam proses bisnis yang diidam-idamkan tidak terjadi. Organisasi sering dianggap seperti mesin yang memiliki cara kerja yang ajeg, dan untuk bisa bekerja baik harus diatur serinci mungkin. Pada kenyataannya, pelaku organisasi adalah manusia yang memiliki imajinasi, keinginan, emosi, kreativitas, dan motivasi yang jelas-jelas bukan mesin. Oleh karena itu, cara terbaik untuk meminimalisasi kesalahan kecil dalam organisasi adalah dengan meningkatkan rasa memiliki yang hanya bisa dibangun jika kita memandang organisasi sebagai kumpulan talent yang sangat dipengaruhi oleh suasana hati, dapat bekerja jauh melampaui uraian pekerjaan yang ditetapkan baginya. Dalam konteks inilah dikenal istilah psychological capital (PsyCap), bahwa suasana hati, kekuatan pikiran dan emosi positif dapat mewujud menjadi suatu modal bagi organisasi.
Paradoks berpikir seperti ini sering kita alami dalam hidup kita. Semakin tinggi tekanan untuk mengatasi kelemahan, menangani problem, malah menimbulkan frustasi dan keletihan, yang akhirnya malah menimbulkan masalah yang lebih banyak. Karyawan yang setiap pagi dibombardir dengan masalah-masalah dalam meeting, kata-kata pedas yang mengecilkan arti pekerjaan yang telah dikerjakannya, dan selalu menekankan perbaikan hal-hal yang kurang, cenderung menganggap pekerjaan sebagai beban dan kehilangan kebebasan dalam berpikir.
Kenyataan ini membuka alternatif paradigma lain pada pengelolaan manusia yang berbasis pada kekuatan dan kesuksesan. Pembicaraan yang positif dan menyenangkan akan mendorong kreasi dan keinginan untuk berkontribusi yang pada akhirnya menutup celah-celah pada job description. Perasaan berdaya dan kepercayaan diri yang terbangun membuat karyawan optimis pada masa depan dan percaya bahwa dirinya mampu berbuat sesuatu dalam konteks pekerjaannya. Dorongan untuk berkontribusi “beyond duty” inilah kekuatan yang sesungguhnya dari suatu organisasi. Kontribusi yang lahir dari kecintaan dan kebanggaan karyawan sebagai bagian dari organisasi yang memberdayakan. Dengan mengadaptasi paradigma baru ini, Anda telah membuka pintu kearah masa depan baru organisasi. Organisasi yang berbasis kekuatan, strength-based organization.
Wahyu T. Setyobudi
Staf Pengajar, Peneliti dan Konsultan PPM School of Management
Artikel ini pernah dimuat di Harian Bisnis dan Investasi Kontan, Rabu 21 Desember 2011
Bincang-bincang melalui twitter @why_setyobudi
sangat inspiratif bung wahyu, dengan membaca tulisan anda mengingatkan saya bahwa adakalanya kita melihat sesuatu dengan “bahasa” yang lain di luar bahasa teks atau verbal. semoga selalu mewarnai perspektif individu yang mencoba memahami marketing dari sudut pandang yang berbeda.
salam hangat
ute
Ha.. Thanks Mbak ute dah mampir blog ini..
Salam yah untuk mas bimo dan teh sarah..
Cium jauh..