Peribahasa diatas dalam bahasa indonesia berarti “biar rugi sedikit, yang penting jadi saudara”. Dibesarkan sebagai seorang anak yang sering membantu ibunya belanja di pasar tradisional di daerah Salatiga, saya akrab dengan peribahasa diatas. Pedagang sawi, bumbu dapur, daging dan lainnya sering menggunakan senjata pamungkas ini dalam negosiasi tawar menawar.
Prinsip tuna sathak bathi sanak ini pada dasarnya ingin menyampaikan pesan bahwa transaksi perdagangan, dalam pandangan jawa, bukanlah semata-mata proses jual dan beli, namun lebih dari itu perdagangan dianggap sebagai bagian dari ritme kehidupan, baik oleh penjual maupun pembeli. Penjual mengharapkan pelanggan menjalin hubungan yang dekat, seperti saudara. Pertukaran cerita yang dilakukan setiap hari membuat pembeli dan penjual tumbuh bersama. Tak jarang penjual mengenal anak pembeli, sekolahnya, rangking di kelas, dan berbagai cerita lain yang dapat dikategorikan cerita pribadi. Konsep ini kiranya, yang disampaikan oleh Valerie dan Zeithaml (2006) beberapa tahun lalu, dan menjadi rujukan para ahli pengelolaan hubungan pelanggan sebagai social bonding atau emotional bonding. Pelanggan diikat secara emosional sehingga alih alih takut tidak mendapat suatu produk, malah takut jika tidak berhubungan lagi dengan penjualnya.
Selain itu juga, kata tuna sathak, memiliki makna bahwa untuk mengikat pelanggan dapat juga dilakukan dengan menggunakan financial bonding, ikatan yang mengandalkan keuntungan ekonomis. Pelanggan yang mau menjalin hubungan jangka panjang atau memberikan customer share lebih banyak pada perusahaan seharusnya mendapat kompensasi dengan total biaya pembelian yang lebih murah. Melangkah lebih jauh, pedagang jawa sering memberi service yang lain seperti menyiapkan dagangan sebelum pembeli datang atau bahkan mengantar ke rumahnya. Hal ini menggambarkan tindakan customization bonding, mengikat pelanggan dengan menyesuaikan layanan dengan kebiasaan pelanggannya. Dengan demikian tanpa banyak konsep, praktek pengelolaan total customer experiences telah dijalankan secara baik.
Ketiga ikatan diatas, yaitu financial, emotional dan customization bonding sangat penting dalam paradigma pemasaran era baru. Mengapa? Kita memahami bahwa secara umum, memberikan kepuasan pada setiap titik kontak dengan pelanggan merupakan hal yang penting. Namun demikian, ternyata kepuasan semata tidaklah cukup. Pelanggan yang sangat puas ternyata masih memiliki peluang besar untuk tetap beralih ke pesaing. Oleh karena itu, isu utama dalam pemasaran adalah menjamin kepuasan pelanggan, serta mentransformasikannya menjadi loyalitas, yang diwujudkan dengan adanya pembelian ulang (repurchase).
Dalam era kompetisi sekarang ini, dimana pelanggan semakin hari semakin demanding, dan intensitas persaingan tidak ada tanda-tanda mengendur, malah semakin ketat, ada istilah “jangankan menambah pelanggan baru, mempertahankan yang lama saja susah”. Salah satu cara yang kita bisa lakukan untuk bertahan bahkan ungul dalam dinamika lingkungan tersebut adalah dengan memahami bahwa proses retention dan development jauh lebih penting daripada proses acquisition pelanggan baru. Tuna sathak bathi sanak ternyata masih relevan.
Ternyata untuk belajar manajemen hubungan pelanggan yang baik tidak harus browsing internet ke situs lintas benua, tidak juga harus membeli buku impor yang harganya bisa lima kali lebih mahal dari buku lokal. Belajar manajemen dapat diilhami oleh apa yang telah dilakukan sehari-hari, warisan dari para generasi pendahulu yang juga memiliki kebijaksanaan khas yang pas secara kontekstual.
Wahyu T. Setyobudi
Peneliti, Konsultan dan Pengajar PPM School of Management
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Kontan Rabu, Tanggal 8 Februari 2012
Bincang-bincang melalui twitter @why_setyobudi
No Comment