Ada kalanya, pada waktu beberapa orang dihadapkan pada suatu peristiwa yang sama dan diminta untuk menceritakan kembali peristiwa tersebut, mereka memiliki perbedaan versi. Perbedaan ini dapat berupa detil-detil sederhana seperti pengejaan nama tokoh-tokoh yang terlibat, namun dapat pula berupa perbedaan yang besar dan mendasar seperti alur cerita dan hubungan sebab akibat yang terjadi dalam cerita itu. Hal ini mengingatkan saya pada suatu film yang legendaris dari sutradara handal Akira Kurosawa berjudul Rashomon (1950). Film ini menceritakan suatu peristiwa yang berakhir pada tewasnya seorang samurai di tengah hutan belantara. Empat orang saksi diajukan ke depan pengadilan dan betapa terkejutnya hakim ketika mendapati keempat saksi tersebut memiliki cerita yang berbeda-beda. Secara alamiah kita akan dengan segera mengajukan pertanyaan, mana versi yang benar dari sekian banyak cerita yang ada itu? Saya sepaham dengan pendapat Roth dan Mehta (2002), bahwa untuk mencari kebenaran mutlak dalam suatu peristiwa masa lalu yang diceritakan dalam berbagai versi tidaklah mudah. Hal ini antara lain disebabkan oleh watak manusia yang memiliki keberpihakan pada kepentingan pribadinya dan juga seringkali silap dalam menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Untuk memperjelas argumentasi saya tersebut, dalam tulisan ini saya akan menjelaskan beberapa sebab seseorang memiliki cerita dari suatu peristiwa, kemudian saya akan mengaitkannya dengan beberapa hal yang penting yang dapat dijadikan pelajaran dalam konteks organisasi.

Baiklah, kita akan mulai membahas mengapa suatu cerita dapat berbeda dengan kenyataannya. Sebab pertama adalah karena ketidakmampuan menusia untuk menyimpan semua informasi yang diterimanya. Walaupun otak manusia adalah mesin pengingat yang sangat luar biasa dengan lebih dari 15-33 milyar sel syaraf yang saling terjalin, namun stimulus yang terpapar pada indera kita jumlahnya jauh lebih banyak lagi. Oleh sebab itu, kita terlatih untuk menyaring informasi yang penting dan yang kurang. Bapak Bill Watson, salah satu dosen yang amat saya kagumi pernah membuka kuliah dengan meminta mahasiswa untuk mengingat apa saja yang ditemui di lantai satu tempat kami berkuliah. Tentu saja sangat mengejutkan, karena ternyata hal-hal sederhana seperti warna kursi, bentuk tangga dan ukuran lantai tidak bisa kami ingat. Saya yakin, Anda juga pernah mengalami hal seperti ini. Keterbatasan memori manusia ini juga diperparah dengan apa yang disebut oleh Berman G (2009) dengan Decay Theory yaitu menghilangnya beberapa ingatan seiring dengan berjalannya waktu. Jika peristiwa yang diceritakan adalah peristiwa yang jauh di masa lalu, maka kemungkinan hilangnya informasi semakin besar.

Selain dari keterbatasan memori manusia, sebab kedua yang sangat penting dan menonjol adalah adanya keinginan agar orang lain memiliki pandangan tertentu terhadap si pencerita. Ini menyebabkan pencerita memodifikasi ceritanya sedemikian rupa sehingga pendengar memperoleh kesan tertentu yang menguntungkan bagi penceritanya. Dalam film Rashomon, seorang bandit bernama Tajomaru dengan sangat bangga mengakui telah membunuh sang samurai. Dia menceritakan dengan penuh semangat, bagaimana dia melepaskan ikatan samurai dan memberikan pedangnya sehingga pertarungan berjalan dengan adil. Tak lupa ia menggambarkan betapa serunya duel yang terjadi, dan karena ketangguhannyalah samurai akhirnya dapat dikalahkan. Cerita ini 180 derajat berbeda dengan cerita penebang kayu, yang sebagai orang ketiga melihat dari kejauhan. Ia melihat pertarungan yang terjadi tidak sedramatis yang diceritakan Tajumaru, bahkan tak lebih dari pertarungan dua orang penakut. Kita dapat memahami Tajumaru memiliki satu versi cerita untuk mempertahankan reputasinya sebagai bandit yang ditakuti di kawasan itu. Secara alamiah sifat manusia untuk mempertahankan identitas diri mendorongnya untuk memodifikasi, baik sadar maupun tak sadar, cerita yang disampaikan atas berbagai peristiwa yang dilihatnya.

Selain dari keterbatasan memori dan maksud tertentu, sebab ketiga menurut Roth dan Mehta (2002) adalah kecenderungan untuk terlalu cepat mengambil kesimpulan. Saya sependapat dengan hal ini, dikarenakan banyaknya contoh di sekitar kita. Hanya karena sekali pernah menemui seorang karyawannya tertidur di atas meja kerja, seorang atasan memberi label pemalas, dan diungkapkan dalam sebuah rapat. Akhirnya banyak orang yang tanpa meneliti lebih lanjut memberikan label yang sama kepada karyawan tersebut. Membuat suatu generalisasi tidak lengkap seperti ini tidak dapat diterima, karena informasi yang sepotong-sepotong akan mengarah pada kesimpulan yang salah. Kita pasti pernah mendengar contoh klasik dari tiga orang buta yang menceritakan bentuk gajah. Orang buta yang memegang telinganya mengatakan bahwa gajah bentuknya besar lebar tipis seperti kipas, yang memegang kakinya bicara bahwa gajah tinggi seperti pohon kelapa, sedangkan yang memegang ekornya berpendapat gajah bulat panjang seperti ular. Pada akhirnya, yang paling tepat adalah melihat gajah dari kanan, kiri, atas, bawah, dari kejauhan dan dari jarak dekat untuk mendapat gambaran yang lengkap.

Sebagai tambahan dari tiga sebab diatas, bias juga bisa terjadi karena distorsi informasi ketika dialihkan dari mulut ke mulut. Permainan pesan berantai memberi pelajaran pada kita, bahwa semakin panjang rantai, semakin besar kemungkinan informasi berbeda dari aslinya. Peribahasa “Titip uang bisa kurang, titip omongan bisa nambah” menggambarkan hal ini dengan baik. Sehingga mencari sumber orang pertama adalah hal yang penting jika kita ingin mendapat informasi yang tepat.

Dari pembahasan di atas, kita memahami bahwa sifat mendasar manusia terbiasa untuk melupakan, memodifikasi sesuai kepentingannya serta terlalu cepat mengambil kesimpulan. Jika demikian, apakah ada versi cerita yang menggambarkan peristiwa secara objektif? Tentu saja cerita yang paling masuk akal adalah cerita yang paling cocok dengan bukti-bukti empiris yang ada di lapangan, dan yang paling sederhana. Ini yang kita sebut best explanation. Lalu, apakah kita sebaiknya menihilkan cerita-cerita lainnya yang tidak sesuai? Saya berpendapat bahwa ketika kita mendengarkan berbagai versi cerita, tujuan utama kita bukan hanya mencari cerita yang benar dan yang salah, karena setiap cerita pasti mengandung kebenaran dan kesalahan, namun yang lebih penting untuk memahami watak seseorang. Hal ini berarti dalam mendengarkan suatu cerita, kita tidak boleh berhenti untuk menggali bukan hanya yang diungkapkan secara eksplisit, namun juga yang implisit terkandung di dalamnya. Lebih lanjut lagi kita juga harus berpikir apa yang mendasari hal yang implisit tersebut, apa yang mendorong seseorang memiliki pesan implisit tersebut.

Dengan memahami pesan-pesan implisit yang terkandung dalam satu cerita, kita akan memiliki pandangan yang lebih mendalam sehingga terlepas dari kepicikan dalam tindakan. Pelajaran ini ini sama pentingnya baik dalam kehidupan pribadi terlebih lagi dalam kehidupan berorganisasi, dimana kita terlibat dengan orang lain. Beberapa pelajaran yang dapat kita terapkan dalam kehidupan organisasi antara lain; pertama, biasakan selalu mencari informasi dari tangan pertama. Setelah itu, jika ada berbagai versi lakukan triangulasi dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1.      Perhatikan koherensi cerita dari masing-masing sumber. Cerita yang tidak koheren menggambarkan banyaknya bias dalam cerita tersebut.

2.      Lakukan selalu pengecekan mengenai hubungan antara cerita satu dengan lainnya. Mana bagian yang sama dan mana bagian yang berbeda.

3.      Cek apakah cerita dari masing-masing sumber sesuai dengan fakta-fakta empiris yang ada.

Hal kedua yang juga penting adalah mencari maksud implisit dari suatu cerita. Biasanya pemahaman akan latar belakang, motif dan sifat pencerita akan membantu kita memahami maksud implisit ini.

Hal ketiga adalah mencegah adanya tafsir ganda dari suatu keputusan atau peraturan organisasi. Suatu keputusan rapat atau peraturan organisasi hendaknya dibuat dalam bentuk tertulis, didiskusikan secara mendalam, sehingga anggota organisasi memiliki pemahaman yang kurang lebih sama terhadap substansi keputusan dan aturan tersebut. Dokumen-dokumen seperti pedoman, manual, dan notulen rapat biasanya dipandang sebagai hal yang remeh, padahal ia merupakan suatu bukti empiris yang bisa meminimalisir adanya tafsir ganda. Oleh karena itu, membangun kebiasaan untuk menghormati dan memandang penting dokumen seperti ini perlu kita bangun. Memiliki peraturan yang bertafsir ganda bukan saja tidak efektif, bahkan ada kalanya bersifat destruktif apabila kemudian justru menimbulkan pertikaian yang berujung pada konflik di dalam organisasi.

Hujan lebat, guntur dan puing-puing dalam nuansa hitam putih yang menyedihkan, itulah kesan yang ditampilkan oleh Rashomon. Namun jika kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran darinya, kita dapat mengharapkan langit yang cerah, angin sepoi dan burung-burung yang berkicau menghiasi hari kita.

Wahyu T. Setyobudi

Staf Pengajar PPM School Of Management

Peneliti dan Konsultan PPM Consulting

Referensi :

Berman, M. G., Jonides, J., & Lewis, R. L. (2009). In Search of Decay in Verbal Short-Term Memory. Journal of Experimental Psychology / Learning, Memory & Cognition; , 35 (2), p. 317-333.

Heider, K. G. (1988). The Rashomon Effect: When ethnographers disagree. American Anthropologist, New Series , 90 (1), pp. 73-81.

Kurosawa, A. (Director). (1950). Rashomon [Motion Picture].

Roth, W. D., & Mehta, J. D. (2002). The Rashomon Effect: Combining positivist and interpretivist approaches in the analysis of contested event. Sociological Methods Research , 31, 131

Berman, M. G., Jonides, J., & Lewis, R. L. (2009). In Search of Decay in Verbal Short-Term Memory. Journal of Experimental Psychology / Learning, Memory & Cognition; , 35 (2), p. 317-333.

Heider, K. G. (1988). The Rashomon Effect: When ethnographers disagree. American Anthropologist, New Series , 90 (1), pp. 73-81.

Kurosawa, A. (Director). (1950). Rashomon [Motion Picture].

Roth, W. D., & Mehta, J. D. (2002). The Rashomon Effect: Combining positivist and interpretivist approaches in the analysis of contested event. Sociological Methods Research , 31, 131