Wajar jika malam pertama selalu menjadi peristiwa menegangkan bagi para pengantin baru. Berita simpang siur yang kemudian dirangkai dengan bayangan yang diciptakan sendiri akhirnya menyebabkan berbagai pikiran berkecamuk dalam benak mereka. Bukan malam pertama namanya, jika sebelumnya telah memiliki pengalaman. Dengan demikian, perasaan gelisah yang khas timbul sebagai perpaduan antara rasa penasaran, dan ketakutan karena kurang pemahaman. Saking banyaknya peristiwa lucu yang timbul karena situasi seperti ini, sehingga cukup untuk direkam dalam sebuah buku mati ketawa ala malam pertama.
Perasaan ini nampaknya menjadi analogi sempurna bagi perasaan dunia bisnis Indonesia menyambut diresmikannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tahun 2015. Belakangan ini, kolom bisnis dari berbagai media seakan berlomba menjadikannya sebagai tema utama, menghadirkan berbagai informasi tentang MEA. Berbagai pengamat diundang untuk memberikan analisis, seberapa siap Indonesia menghadapi era keterbukaan dimana aliran produk, tenaga kerja dan modal dibuka seluas-luasnya. Saat itu, jika tiba masanya, wilayah ASEAN akan menjadi satu kolam ekonomi besar, di mana ikan-ikan bebas menjelajah sudut manapun dari kolam yang paling banyak menyimpan makanan dan udara bersih. Keadaan seperti ini tentu mencemaskan. Seiring dengan peluang yang terbuka lebar muncul pula tantangan yang sama besarnya.
Perdebatan tentang seberapa siap Indonesia menghadapi MEA, dalam pandangan saya merupakan perdebatan yang salah arah. Siap atau tidak siap, era MEA akan datang, sehingga kesiapan bukanlah menjadi isu utama. Sejak dicanangkannya niat untuk melaksanakan kawasan ekonomi terpadu dalam Bali Concorde II tahun 2003 dan ditegaskan pada KTT ASEAN ke 12 tahun 2007 yang menghasilkan kesepakatan untuk percepatan terwujudnya MEA di tahun 2015, kita praktis memiliki 12 tahun untuk mempersiapkan diri. Nyatanya, hingga kini, belum ada langkah-langkah sistematis yang dilihat signifikan untuk mengangkat kesiapan Indonesia.
Bukan salah Hofstede ketika merumuskan konsepnya yang terkenal sebagai National Culture Theory, menyebut Indonesia memiliki uncertainty avoidance rendah. Dimensi yang menunjukkan seberapa terancam masyarakat di suatu negara dengan situasi yang ambigu atau tidak menentu, sehingga mendorong munculnya tindakan untuk menghindari keadaan tersebut, ternyata secara kultural memang tidak mengemuka di Indonesia. Karakter ini jika mewujud dalam fleksibilitas aksi dalam menghadapi era chaos dan turbulensi tentu baik. Namun sayangnya, seringkali ia juga manifes dalam budaya kebijakan dadakan atau SKS (sistem kebut semalam) dalam perumusan platform ekonomi jangka panjang.
Melihat kenyataan ini, nampaknya dunia bisnis Indonesia harus realistis melihat bahwa kita sendiri-sendiri dalam menghadapi keadaan ini. Kesiapan pemerintah yang diwujudkan melalui peraturan yang mengungkit daya saing bisnis nasional nampaknya hanya bisa diharapkan, dan jika memang terwujud di pemerintahan baru, kita anggap saja sebagai bonus. Namun prinsipnya, lakukan apa yang bisa dilakukan, yakni meningkatkan daya saing perusahaan di level ASEAN.
Ada paling tidak 3 hal yang menjadi kunci bagi meningkatnya daya saing tersebut yaitu: operational excellent, customer relationship, dan innovation. Sebaik apapun bungkus, lambat laun kualitas isi akan terlihat juga. Dengan demikian kesempurnaan operasi untuk menghasilkan isi yang super baik adalah hal yang utama. Jika sebelumnya kesalahan-kesalahan kecil dapat ditolerir, dalam era mendatang janganlah macam-macam, menganggap remeh kesalahan. Pesaing lintas negara akan merangsek masuk dan menawarkan kualitas produk yang lebih serius. Gunakan berbagai macam cara untuk menjamin kualitas, mulai dari penerapan quality assurance, continous improvement dan pengelolaan supply chain yang maksimal.
Berikutnya memperkuat hubungan pelanggan. Jika nanti telah masuk era MEA, pemain dalam industri semakin banyak, sehingga pelanggan memiliki pilihan. Hal ini berakibat pada perilaku pelanggan yang semakin demanding. Dalam kondisi seperti ini, jangankan menambah pelanggan baru, mempertahankan pelanggan lama saja sangat sulit untuk dilakukan. Oleh karenanya, perusahaan mau atau tidak mau harus merancang suatu taktik untuk mengikat pelanggan (customer bonding). Dari jauh hari, petakan pelanggan utama Anda dan pikirkan cara untuk melindungi hubungan bisnis. Perusahaan dapat merancang memberikan bonus terhadap volume atau frekuensi pembelian atau yang kita sebut sebagai financial bonding. Ikatan yang lebih kuat dapat diraih dengan menerapkan social bonding, atau mengikat para pelanggan melalui komunitas sosial yang dibangun. Untuk menerapkan hal ini, Anda dapat mengadakan gathering-gathering, dan memelihara hubungan terus-menerus dengan pelanggan, serta membangun database yang unggul.
Penguatan terakhir yang merupakan kebutuhan mutlak adalah pengelolaan inovasi dalam perusahaan. Inovasi tidak selamanya berbentuk produk baru yang belum pernah ada sebelumnya, namun dapat berupa packaging baru, feature baru, varian baru atau penyempurnaan dari yang sudah ada. Selain itu, inovasi dalam proses produksi dan sourcing, perlu juga menjadi perhatian. Agar inovasi dapat membudaya, diperlukan suatu pengelolaan yang dilakukan secara terencana.
Demikianlah beberapa hal yang dapat dilakukan oleh perusahaan dalam menghadapi MEA yang tinggal sejarak kedipan mata. Kesiapan tidak mungkin terwujud tanpa persiapan. Ibarat pertandingan bola yang telah memasuki injury time, program penyiapan daya saing dan strategi organisasi ini perlu dan sudah selayaknya menjadi crash program bagi para pelaku bisnis. Semoga direalisasikannya Masyarakat Ekonomi Asean lebih banyak mendatangkan manfaat daripada mudharat bagi dunia bisnis nasional.
Artikel ini dimuat di Koran SINDO, edisi 27 Oktober 2014
No Comment