Tergantung dengan tangan terikat dan tali melilit di leher, Solomon Northup berjuang mencari nafas dengan cara berjinjit diatas tanah berlumpur. Adegan ini dalam pandangan saya merupakan salah satu penggambaran nyaris sempurna dari penderitaan seorang budak terjajah dalam film ini. 12 Years a Slaves dengan cantik menggambarkan betapa tidak berdaya dan lemahnya para budak, dan berkuasanya para tuan tanah. Penggambaran ini rasanya pas, tidak berlebihan, namun cukup bisa beresonansi dengan perasaan kita.

Solomon Northup adalah seorang afro-america yang bebas, namun kemudian diculik dan menjalani 12 tahun penuh penderitaan sebagai budak. Ketrampilan yang dimiliki, serta luasnya pengetahuan dan kemampuan berpikir membuatnya mampu bertahan dalam situasi ini, meski harus mengorbankan harga diri dan menekan perasaan marah yang bergelora.

Para budak diharuskan mengerjakan seluruh perintah tuan tanah dengan tanpa pertanyaan dan sekuat tenaga. Pergi pagi pulang sore memeras keringat demi menyelamatkan nyawa. Kadangkala mereka mesti menyanyi walaupun tak senang, atau menari meski tak bersemangat. Semua dilakukan agar nyawa bisa selamat. Mengatakan yang baik demi menyenangkan tuan dan selalu mengabaikan penat walau kaki hanya bisa berdiri bertahan.

Kita mungkin miris dengan kehidupan para budak tersebut. Namun film ini dapat pula menjadi cerminan, refleksi pada kehidupan hampir sebagian besar masyarakat metropolitan, sebut saja kaum menengah. Kerja pagi pulang petang, menembus hujan, banjir dan macet demi sampai ke tempat kerja. Mengerjakan tugas yang bukan gairahnya serta mengatakan hal-hal yang membuat atasan senang. Semua demi keselamatan dan bertahan hidup di belantara metropolitan. Jadi mengapa film ini menjadi sangat menyentuh dan emosional, karena ada refleksi atas perjalanan keseharian kita, Solomon-solomon masa kini.