Pernahkah Anda menikmati pertunjukan barongsai? Dua ekor macan berwarna warni biasanya merah, emas dan biru, menari ritmis dibawah riuh musik kendang dan kerincing cina. Mata dan mulutnya bergerak-gerak layaknya macan muda yang menyedot perhatian penonton. Pada puncaknya, pertunjukan akan dimeriahkan dengan hadirnya beberapa tiang pancang yang berbeda tinggi. Singa barongsai kemudian akan menari lincah dan berakrobat dengan melompat dari satu tiang ke tiang lainnya.

Salah satu faktor penting yang menjaga barongsai tidak jatuh ke tanah, dan menunjukkan gerakan-gerakan atraktif lainnya adalah kesesuaian gerak, atau yang umum kita katakan dengan kekompakan. Kekompakan antara seorang yang memainkan peran sebagai kepala, dan satunya lagi yang berperan sebagai ekornya.  Kekompakan yang ditampakkan dalam permainan ini, dalam pengamatan saya, sudah bukan lagi kekompakan teoritis yang menggunakan konsep-konsep. Kekompakan yang mewujudkan dirinya dalam keharmonisan ini, adalah sebuah kedekatan intuitif yang lebih merupakan suatu kesatuan rasa.

Dalam analoginya, tim dalam suatu perusahaan menghadapi situasi bisnis yang kurang lebih memiliki beberapa kesamaan. Persaingan dalam membangun suatu penawaran yang menarik dibanding pesaing, menghadapi strategi cutting cost, perubahan kriteria dalam tender, dan berbagai kejadian lain seringkali menghantam tim penjualan di perusahaan kita. Sedikit saja ada kesalahan pada keputusan yang beresiko, perusahaan dapat tergelincir seperti barongsai gagal menjejak tiang.

Membangun budaya kompak tidak selamanya mudah dalam organisasi. Kekompakan merupakan satu dimensi, sedangkan performance tim di dimensi yang berbeda. Suatu tim dapat saja memiliki kekompakan tinggi, namun tidak dapat ditransform menjadi performance. Kekompakan ini bukanlah kekompakan seperti yang kita harapkan, karena justru menimbulkan resistensi dan menjadi boomerang bagi perubahan dan fleksibilitas yang dituntut dalam persaingan.

Kekompakan yang intuitif dibangun atas dasar kepercayaan. Anggota tim yang percaya bahwa dengan mengorbankan dirinya dalam konteks waktu, tenaga maupun biaya akan membawa kebaikan tim dan yang lebih penting adalah.. dikembalikan lagi untuk kesejahteraan dirinya. Tim yang tidak dibangun untuk mensukseskan satu individu tapi untuk mendorong gerak bersama.

Oleh karena itu, tidak mudah mencari talen untuk menjadi kepala barongsai. Dibutuhkan bertahun-tahun latihan yang dimulai sejak usia dini dengan beban berlatih yang meningkat dari hari-ke hari. Ini yang menjadi komponen utama…Kompetensi. Bersedia menjadi pimpinan tim berarti siap menunjukkan bahwa dirinya mampu melakukan hal terbaik di antara seluruh anggota tim. Berkorban lebih banyak, menikmati lebih sedikit. Hanya dengan itu kepercayaan intuitif bisa dibangun.

Hal kedua yang perlu dimiliki adalah Appreciative mindset. Pemimpin tim haruslah memandang timnya sebagai kumpulan aset yang dapat dimanfaatkan, bukan sebagai kumpulan utang yang harus dibayar. Sebagai kumpulan kekuatan untuk diberdayakan, bukan sebagai kumpulan masalah yang harus diselesaikan. Jika hal ini menjadi mindset, maka akan terlihat dari caranya menyapa, caranya bercakap, caranya memberi penghargaan atas keberhasilan. Inilah yang akan menimbulkan driver pendorong semangat tim.

Komunikasi Efektif juga menjadi komponen penting yang berkontribusi pada pengembangan tim yang kompak. Dalam pertunjukkan barongsai, dencing gemerincing musik memberikan irama dan ketukan-ketukan sebagai penanda perubahan gerak dan manuver. Pekik kepala barongsai menandakan saatnya berpindah dan melakukan formasi tertentu. Tentu saja, kejelasan teriakan menentukan keberhasilan manuver. Sepersekian detik adalah membran tipis antara gagal dan berhasil.

Akhirnya, tim kita berhasil menggulung target penjualan tahun ini, menutup tender besar, atau mendapatkan hasil investasi yang di atas rata-rata. Seperti barongsai yang melewati seluruh tiang rintangan, inilah saatnya untuk mengemasi barang-barang dan bersiap untuk pertunjukkan berikutnya.

Wahyu T. Setyobudi

Bincang-bincang melalui twitter @why_setyobudi