Pesona bonsai memang tidak dipertanyakan lagi. Komposisi lekukan dahan dipadu dengan segarnya daun-daun yang tumbuh terawat memanjakan mata hingga tahan berjam-jam untuk menikmatinya. Beberapa waktu yang lalu saya mengakuisisi tiga pohon bonsai yang sangat indah bentuknya, setidaknya di mata saya yang pemula ini. Dua pot pohon bonsai seribu bintang dan satu beringin mini akhirnya menghiasi tepian kolam saya. Tentu sangat hati-hati saya membawa pohon tersebut, dengan tak lupa sebelumnya minta petunjuk ini dan itu dari penjualnya, mulai dari membentuk dahan, menyiram, memupuk dan menanam.
Gairah saya terhadap bonsai ini sepertinya memang sedang panas-panasnya. Saya pandangi setiap pagi, saya putar-putar potnya dan bahkan tengah malam saya potongi tunas-tunas yang tumbuh salah tempat. Namun tak sampai dua bulan, kejadian tragis menimpa pohon-pohon saya itu. Tak hanya satu, tiga sekaligus, mereka tampak merana. Daun-daun yang tadinya segar, menguning. Ranting yang semula berisi menjadi keriput dan mengering. Dalam panik saya sirami dan berikan beberapa pupuk dengan maksud mengobatinya, namun hasilnya justru memburuk. Ketiga tanaman tersebut meranggas dan akhirnya mati.
Tragedi bonsai ini kemudian muncul tak sengaja dalam kilasan ingatan saya saat membaca beberapa analisis mengenai akuisisi Nokia oleh raksasa software Microsoft. Akuisisi senilai 80,3 triliun rupiah ini, sebenarnya kalah fantastis jika dibandingkan dengan akuisisi Whatsapp oleh Facebook yang senilai hampir tiga kali lipatnya. Namun demikian, tetap saja langkah bisnis antara kedua pemain besar dalam industry ITC ini menimbulkan riak cukup besar dan menjadi topik diskusi minum teh yang menarik di dunia bisnis. Tak banyak yang akan saya bahas dalam kaitan apakah keputusan itu tepat atau tidak, karena selain sudah terjadi, banyak pengamat manajemen stratejik telah beradu pendapat tentang hal ini.
Saya ingin berargumen bahwa justru apa yang terjadi setelah proses merger dan akuisisi inilah yang paling penting. Data Global M&A di tahun 2012 menunjukkan bahwa nilai akuisisi dunia meningkat 53,5% menjadi 3,11 triliun USD, bahkan di US meningkat hingga 76%. Namun demikian di sisi lain, Weber, Taba dan Oberg (2013) menunjukkan bahwa tingkat kesuksesan merger dan akuisisi tersebut tak lebih dari 50%. Sebutlah misalnya DaimlerChrysler yang mulanya digadang-gadang menjadi raksasa otomotif dunia, bergabung pada tahun 1998, dan akhirnya resmi berpisah pada tahun 2007. Keputusan berpisah ini terpaksa diambil setelah berbagai konflik yang timbul diantara keduanya dan dipicu oleh bleeding yang dialami Chrysler sebesar 1,5 miliar USD pada tahun 2006. Pada tahun itu, Chrysler terpaksa berencana melakukan layoff terhadap 13.000 karyawannya. Akhirnya, Daimler yang pada tahun 1998 harus merogoh kocek sebesar 38 billion USD untuk meminang Chrysler, harus merelakannya kepada Cerberus Capital Management dengan harga tak lebih dari 7.4 billion USD.
Beberapa ahli manajemen stratejik berpendapat bahwa kegagalan utama duet DaimlerChrysler adalah pada integrasi kultural dan lini bisnis. Hingga akhir cerita, kedua perusahaan ini tidak pernah dapat bersinergi memanfaatkan sumberdaya bersama yang dipunya. Jika tidak belajar dari pengalaman klasik seperti ini, perkawinan antara Microsoft dan Nokia juga bisa terancam berakhir tragis. Pertama adanya nuansa “terpaksa” dalam proses akuisisi ini. Microsoft yang telah mengikat Nokia sebagai kesatria windows phone nomer satu dunia, ternyata tidak cukup mampu mengangkatnya dalam peta persaingan smart phone yang ada, bahkan terus merugi. Langkah paling logis yang akan dilakukan Nokia adalah melirik platform lain yang berarti ancaman besar bagi Windows phone. Kedua, ada masalah budaya yang sedikit banyak berpotensi menjadi tantangan. Software-minded people Microsoft akan bertemu dengan hardware-minded people Nokia. Berbagai hal ini jika digabung dengan reaksi windows phone maker lainnya akan menjadi tantangan yang menarik bagi pasangan baru ini.
Tepat setelah diakuisisi, perusahaan mengalami masa kritis. Pada masa ini, banyak karyawan mempertanyakan urgency akuisisi dan sedang dalam masa galau dengan nasib mereka. Beberapa diantaranya bahkan dapat menyabot dengan terang-terangan atau dalam diam. Oleh karenanya, satu hal yang menjadi faktor krusial dalam pengelolaan perusahaan pasca akuisisi adalah adanya pemimpin transformatif dan champion-champion di beberapa bidang yang strategis. Jejaring pemimpin transformatif dan para champion memungkinkan perusahaan untuk menggerakkan dinamika baru di level fungsional, sekaligus memberi optimisme di antara karyawan.
Langkah yang tak kalah pentingnya adalah penyiapan blueprint transformasi perusahaan yang mempertimbangkan penyelarasan dengan perusahaan induk. Penyelarasan ini kiranya bersifat multidimensi antara lain penyelarasan sumber daya inti, penyelarasan fokus pasar dan value proposition sehingga dapat saling melengkapi dengan perusahaan induk atau unit bisnis lainnya. Tak jarang akuisisi justru berdampak persaingan liar dan kanibalisme antara perusahaan di satu grup atau di titik ekstrim lainnya meninggalkan celah-celah peluang tak terkelola.
Demikianlah kiranya mindset orientasi terhadap proses seperti ini perlu disadarkan pada seluruh eksekutif dan karyawan di perusahaan pasca akuisisi, sehingga tidak cepat merasa tenang ketika proses akuisisi sudah dilakukan. Perjalanan masih panjang untuk membuat perusahaan bersemi dan bertumbuh, bagaikan bonsai yang unik dan terawat.
Wahyu T. Setyobudi | Teman Bincang Marketer Indonesia
Dimuat di Majalah Fortune Indonesia Edisi Mei 2014
No Comment