Jalan raya Jakarta beranalogi hampir sempurna dengan rimba raya. Kendaraan berapapun jumlah rodanya memadati jalanan dengan semangat sampai tujuan secepat mungkin, seringkali tanpa pandang akibatnya pada orang lain dan risiko bagi diri sendiri. Sulit sekali mendapati jalan protokol sepi bahkan jika kita tunggu hingga larut malam menjelang pagi. Kota yang tak pernah tidur. Raungan mesin dan jeritan klakson yang tak henti-henti menjadi pelengkap predikat ini, seiring denyut nafas bisnis dan kehidupan di megapolitan ibu kota. Bisingnya mesin dan klakson juga menjadi salah satu alasan 2,5 juta orang memilih menjadi komuter, keluar dari Jakarta untuk beristirahat.

Selain dari suara bising yg keluar darinya, klakson adalah salah satu alat komunikasi istimewa bagi pengendara kendaraan bermotor. Unik memang, walau suara klakson sama maksud yang disampaikan bisa berbeda. Klakson yang menyalak di suatu keadaan bisa berarti isyarat kemarahan karena kendaraan lain berhenti salah tempat, sedangkan di lain waktu bisa berarti sapaan buat seseorang dikenal yang kebetulan berpapasan jalan. Dia berfungsi memberi peringatan ketika akan menyalib, dan di saat lain sekedar salam mesra pada mobil kuno klasik yang menarik perhatian. Klakson berjamaah dapat pula bermakna protes, seperti yang diterima kedubes Australia setelah kasus penyadapan tahun lalu.

Walaupun kadang efektif, komunikasi klakson memiliki kelemahan yang prinsipal, yakni orientasinya yang bersifat sender-centric, berfokus pada pemberi pesan, seringkali lupa pada penerimanya. Maksud hati ingin memberi peringatan ban kempes pada mobil depan, namun malah dianggap merongrong untuk segera jalan. Hal seperti ini sering menimbulkan slack karena kesalahpahaman. Seorang teman pada suatu pagi datang ke kantor dengan bibir pecah bengkak berdarah karena ribut dengan seorang sopir metromini, gara-gara hal semacam ini.

Berkomunikasi memang bukan hal yang mudah. Bahkan nyatanya hampir seluruh masalah yang ada di dunia ini punya akar pada masalah komunikasi. Dua negara salah berkomunikasi menjadi perang, dua rekan salah komunikasi adu mulut, dan komunikasi dengan diri sendiri pun kalau tidak dilakukan dengan benar bisa fatal akibatnya. Michael Hall, seorang bapak Neurosemantic pernah mengatakan “the meaning of your communication is the respond you got”. Tidak perduli apa maksud Anda, jika reaksi rekan kerja Anda melenceng jauh dari perkiraan, maka artinya kita gagal mengkonstruksi bahasa dalam menyampaikan pesan. Suatu feedback yang kita berikan, bisa-bisa malah memicu konflik di kantor, karena dianggap menjatuhkan, mempermalukan atau lebih parah menjegal rekan kerja.

Mengapa deviasi seperti ini bisa terjadi? Beberapa hal yang mungkin menyebabkan adalah kurangnya pemahaman atas lawan bicara. Asumsi-asumsi yang kita pakai seperti “pasti sudah tahu maksudnya”, “ah inikan biasa”, “pasti dia paham”, dan lain sebagainya sering membuat para pemasar muda kurang hati-hati ketika berkomunikasi. Usahakan menempatkan diri di sisi lawan bicara untuk dapat lebih empati. Selain itu, perlu mengamati dengan detil reaksi lawan bicara ketika pesan disampaikan setahap-demi-setahap. Kepekaan pada reaksi lawan bicara ini perlu dikembangkan melalui latihan oleh para pemasar muda.

Latihan berkomunikasi dengan baik bukan hanya penting, namun juga mendasar bagi para pemasar. Komunikasi adalah modal dan senjata. Latihan sepanjang hayat yang tidak pernah berhenti.Tinggalkanlah klakson Anda dan berkomunikasi dengan cara yang cantik dan persuasif. Tetap semangat dan salam pembaharu!.

Artikel ini dimuat di Majalah Youth Marketers edisi No. 21 /Oktober 2014